Selasa, 14 September 2010

Ied Hari Jumat (Mohon Tanggapan)

Penulis:

Sebagaimana kita tahu apabila hari raya jatuh pada hari Jum'at, maka dalam pemahaman fiqh Persis kita diberikan rukhsah untuk tidak melaksanakan shalat Jum'at dengan berbagai argumentasi. Tapi saya menemukan catatan yang menolak pendapat tersebut bahwa tetap shalat Jum'at itu wajib meskipun bertepatan dengan hari raya. Mohon keterangannya dari rekan² Pemuda yang sangat mumpuni dalam pemahaman fiqhnya.

S: Bagaimana hukumnya shalat Ied di hari Jumat??? Apakah menjadikan kewajiban shalat Jumat gugur???

J: Alhamdulillah. Dalam Kitab Mughni Al-Muhtaaj disebutkan bahwa Shalat Jum'at itu wajib berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Jum'ah ayat 9: "Hai orang-orang yang beriman, apabila telah dipanggil (adzan) shalat (pada hari) Jum'at, maka bersegeralah kepada dzikrullah (shalat) da tinggalkan jual beli..."
Maka, apabila shalat jum'at tetap wajib, meskipun bertemu dengan hari raya, karena itu adalah dua shalat yang berbeda dan tidak saling menggugurkan, seperti halnya shalat Id tidak menggugurkan shalat dzuhur. Hal ini sesuai dengan keumuman ayat (di atas) dan segenap dalil hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat tetap melaksanakan shalat Jum'at.

Memang ada fatwa dalam madzhab Hanbali, sebagaimana diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah, bahwa apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum'at, maka ada keringanan bagi mereka yang telah melaksanakan shalat Id untuk tidak melaksanakan shalat Jum'at.

Selanjutnya mari kita teliti dalil-dalil yang dipergunakan dalam masalah ini dan memahami mengapa jumhur Ulama lebih memilih untuk:
Pertama, shalat Jum'at itu wajib berdasarkan perintah langsung dari Al-Qur'an (Surah Al-Jum'ah ayat 9). Kedua, tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak menyelenggarakan shalat Jum'at setelah melaksanakan shalat Id. Ketiga, rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Rasulullah adalah kepada penduduk "Aaliyah", yaitu orang-orang yang tinggal di daerah pinggiran (sebelah timur Madinah) yang jauh dari masjid tempat diselenggarakannya Shalat Jum'at.
Mereka tidak dapat melaksanakan shalat Jum'at di tempat mereka sendiri, karena jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka setiap kali Jum'at mereka selalu ke masjid Nabi untuk bersama-sama shalat Jum'at. Bila mereka diharuskan datang dua kali dalam sehari, maka sangat berat bagi mereka, karena perjalanan yang jauh.
Bila mereka harus menunggu hari siang untuk Jum'at, maka mereka tidak bekerja yang diperlukan untuk menghidupi keluarga. Maka, bagi mereka diberikan keringanan, apabila sudah ikut shalat Id, boleh tidak shalat Jum'at, karena: 1. Berat bagi mereka untuk pulang pergi lagi (karena jauhnya tempat), 2. Waktu tempuh perjalanan bisa jadi tidak terpenuhi untuk mengejar shalat jum'at, 3. mereka tak dapat melaksanakan shalat jum'at sendiri, karena jumlah penduduk kampung mereka sedikit.

Untuk saat ini, rukhshah (keringanan) tersebut sudah tidak relevan lagi, karena tempat shalat Jum'at ada di mana-mana dan dapat dijumpai dengan mudah.

Mari kita teliti dalil-dalil yang diajukan oleh yang membolehkan tidak shalat Jum’at:

1. Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Nasai dari Zaid bin Arqom menyaksikan bersama Rasulullah saw bersatunya dua hari raya.
Maka beliau saw melaksanakan shalat id di awal siang kemudian memberikan rukhshah (keringanan) terhadap shalat jum’at dan bersabda,”Barangsiapa yang ingin menggabungkan maka gabungkanlah.”

Hadits ini aslinya berasal dari Iyas bin Abi Ramlah yang menceritakan bahwa ia melihat Muawiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam mengenai hari raya yang bertepatan dengan hari Jum’at. Nah, Iyas bin Abi Ramlah ini adalah majhul (tidak dikenal oleh para perawi hadits), sehingga hadits ini dhaif.

Selain itu, ada perbedaan matan, antara penggunaan lafadz ”Man sya’a an yusholliya falyusholliya” dan ada yg mengatakan ”Man sya’a an yujammi’a falyujammi’”.

2. Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sungguh telah bersatu dua hari raya pada hari kalian. Maka barangsiapa yang ingin menjadikannya pengganti (shalat) jum’at. Sesungguhnya kami menggabungkannya.”
Hadits ini adalah hadits mursal (lihat Nailul Authar)
3. Nasai dan Abu Daud meriwayatkan bahwa pernah terjadi dua hari raya bersatu pada masa Ibnu az Zubeir lalu dia mengakhirkan keluar (untuk shalat, pen) hingga terik meninggi lalu dia keluar dan berkhutbah kemudian melaksanakan shalat. Dia dan orang-orang tidak melaksanakan shalat pada hari jum’at.
Ini sebenarnya adalah atsar yang aslinya adalah riwayat dari Wahab ibnu Kaisan yang menceritakan keadaan pada masa Ibnu Zubair. Cerita Wahab ibnu Kaisan ini aneh, karena ia menyebut shalat yg didahului khutbah sebagai shalat Id.
Sedangkan kita tahu bahwa shalat Id itu mendahului Khutbah dan yang didahului Khutbah itu adalah shalat Jum’at. Maka, keterangan dalam tanda kurung yang diberikan oleh pak Ichsan menjelaskan hal tersebut. Artinya, hadits ini tak dapat dijadikan dalil untuk meniadakan shalat Jum’at pada Hari Raya, sebaliknya justru shalat Id yang ditiadakan dan digabung dengan Shalat Jum’at (karena Jum’at yang wajib).

4. Di dalam riwayat Abu Daud bahwa pada masa Ibnu az Zubeir telah terjadi hari raya bertepatan dengan hari jum’at lalu dia menggabungkan keduanya dan melaksanakan shalat keduanya dengan dua rakaat lebih awal dan tidak tidak melebihkan dari keduanya hingga dia melaksanakan shalat ashar. Riwayat yang ini justru campur aduk dan bertentangan dengan riwayat pada no. 3.
Selain itu, bisa juga maksudnya adalah shalat Jum’atnya dilaksanakan lebih awal dari biasanya. Yang perlu dipahami adalah bahwa shalat Jum’at di masa Rasulullah dan para shahabat itu selalu melewati waktu awal dzuhur (tidak tepat pas masuk waktu dzuhur Imam naik mimbar sebagaimana kita kenal sekarang ini). Beliau shalat qabliyah dahulu di rumah (artinya sudah masuk waktu dzuhur) baru menuju masjid untuk berkhutbah dan memimpin shalat.

Dalil yang dapat ditafsiri banyak begini tak dapat digunakan untuk menggugurkan kewajiban shalat Jum’at yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.

5. Perkataan Utsman didalam khutbahnya,”Wahai manusia sesungguhnya hari kalian ini telah bersatu dua hari raya (jum’at dan id, pen). Maka barangsiapa dari penduduk al-‘Aliyah (Imam Nawawi mengatakan : ia adalah daerah dekat Madinah dari sebelah timur) yang ingin shalat jum’at bersama kami maka shalatlah dan barangsiapa yang ingin beranjak (tidak shalat jum’at) maka lakukanlah.”
Atsar dari Utsman ini sangat jelas menunjukkan bahwa rukhshah untuk tidak shalat Jum’at itu ditujukan hanya kepada penduduk ’Aliyah, bukan kepada setiap orang, dengan illat hukum jauh dan beratnya perjalanan, sebagaimana telah saya jelaskan di muka.

Atsar Utsman itu tidak lain mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari Umar bin Abdul Aziz yang berkata: ”Pernah terhimpun dua hari raya (Id dan Jum’at) pada masa Rasulullah SAW, maka beliau (Rasulullah) bersabda: ”Bagi penduduk Aliyah, apabila mereka mau menunggu (untuk shalat Jum’at), maka silakan menunggu.” (Lihat Al-Umm)

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita, bahwa Shalat Jum’at itu tetap wajib meskipun telah melaksanakan Shalat Id. Hal ini karena rukhshah bagi penduduk Aliyah itu adalah karena jauh dan beratnya perjalanan mereka ke Madinah. Kondisi itu tidak kita jumpai di Indonesia, kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang sangat spesifik.

Wa Allah A’lam

H. M. Dawud Arif Khan; SE, Ak., CPA
Khadam Ikatan Mahasiswa Nahdhiyyin - STAN Jakarta
www.iman-stan.ning.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Memasukkan Artikel

1. Masuk ke blogger.com; atau supaya lebih mudah klik saja gambar di bawah ini:

Photobucket

2. Isi kotak Nama pengguna (Email): dengan

pemudabandung@ymail.com

3. Isi kotak Kata Sandi: (?) tanpa spasi dengan

**********

4. Klik kotak MASUK

5. Klik kotak ENTRI BARU

6. Tulis judul dan masukkan artikel ke dalam kotak di bawahnya

7. Setelah selesai klik kotak TERBITKAN ENTRI