Minggu, 04 April 2010

Ayat kauniyyah

Penulis: Abah Zulva

Penciptaan Alam Semesta


Yang hilang dari dunia kita saat ini adalah pengetahuan tentang hakikat alam semesta. Itulah akar krisis spiritual manusia yang mengakibatkan kehampaan, disorientasi, ketak-bahagiaan dan akhirnya bunuh diri.

(Frithcof Schuon)


A. PENDAHULUAN

Apa yang disebut dengan alam semesta sering disinonimkan dengan istilah-istilah lain, seperti semesta raya, jagad raya, atau mikro-kosmos. Menurut Murata, secara umum, alam semesta dapat dipahami sebagai makro-kosmos beserta keseluruhan yang tersedia di dalamnya, sedangkan manusia adalah mikro-kosmos di mana berbagai keteraturan atau regularitas dan stabilitas terjadi dalam keberlangsungannya. Segala sesuatu dalam makro-kosmos tercermin di dalam mikro-kosmos. Sehingga persoalan alam sangat terkait dengan manusia.

Secara sederhana, alam semesta terdiri dari langit dan bumi, keduanya mewakili ciptaan Tuhan di dunia. Al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmogini). Mengenai metafisika penciptaan, al-Qur’an hanya mengutarakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya, “Jadilah!”. Selain sedikit, ayat-ayat itu tersebar di berbagai surat dengan tema-tema yang parsial. Untuk mengetahui konsep penciptaan alam secara keseluruhan, ilmu alam dengan berbagai cabangnya memiliki andil yang sangat besar.

Menurut Murtadha Mutthahari terdapat tiga konsep mengenai alam semesta. Konsepsi ini dapat dilihat dari sumber interpretasi manusia itu sendiri, di antaranya ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Dari ketiga konsep di atas, konsep agamalah yang akan dibahas pada makalah ini; konsep alam semesta yang berujung pada ajaran tauhid yaitu “alam semesta ini dari dan akan kembali kepada Allah, alam semesta ini sumbunya satu dan orbitnya pun satu; Allah”.

Sebagaimana dikatakan oleh Hossein Nasr mengenai solusi Schuon (di atas), bahwa untuk celah-celah dinding sains yang kosong harus diisi dengan cahaya dari atas, bukan kegelapan dari bawah. Sains harus diintegrasikan dengan metafisika dari atas sehingga faktanya yang tak terbantahkan dapat memperoleh kembali signifikansi spiritual.

Maka, dalam pembahasan mengenai penciptaan alam semesta di bawah ini akan dimulai dengan kajian ayat, kemudian dilihat relevansinya dengan sains modern dan terakhir ditarik kembali pada tataran metafisik untuk menemukan sebuah ontos atau hakikat tentang alam semesta dan manfaatnya untuk manusia.

B. HAKIKAT ALAM SEMESTA

Tentang apa hakikat alam semesta menurut al-Qur’an, dalam beberapa surat al-Qur’an disinggung tentang apa itu alam semesta. Suatu kali al-Qur’an menjelaskan bahwa, alam semesta adalah langit dan bumi (Qs Al-Anbiya [21]: 30). Langit adalah penopang, sedang bumi adalah tempat berpijak bagi manusia. Dengan perkataan lain, bumi tempat manusia adalah bagian dari “langit” dalam arti tertentu, dan langit merupakan bagian dari jagad raya. Disebutkan pula dalam ayat al-Qur’an bahwa jagad raya ini terdiri atas tujuh langit yang berlapis-lapis (QS Al-Mulk [67]: 3-4).

Kata "alam" merupakan derivasi dari kata alima ya’lamu yang berarti mengetahui. Kata jadian ‘alam atau ‘alamat berarti tanda, pertanda atau sign (dalam bahasa Inggris). Dari kata ‘ilm dengan derivasinya yang terdapat sebanyak 105 kali dalam al-Qur’an, dan kata ‘alam itu sendiri ditemukan dalam 91 ayat yang kebanyakan hampir 46 ayat disambungkan dengan sifat Allah SWT Yang Maha Pemelihara alam.

Al-Qur’an terkadang menunjuk hakikat alam semesta secara lebih abstrak. Misalnya ayat al-Qur’an di atas (QS 21: 30) menyebutkan, jagad raya ini adalah sebuah massa (ratqh). Atau, susunan unsur-unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Massa atau susunan unsur-unsur itu berada dalam perbentangan. Sehingga alam semesta dalam perspektif al-Qur’an dapat dipahami sebagai perbentangan unsur-unsur yang saling mempunyai keterkaitan. Sedangkan jagad raya, di mana alam semesta yang terbentang ini, mempunyai atau mencakup pula hukum-hukum atau sebab-sebab alamiahnya.

Atas dasar itu, pertama-tama alam semesta dapat dikatakan sebagai sebuah wujud atau subjek, yaitu bumi dengan segala isinya, langit dengan keseluruhan yang terdapat di dalamnya, dan jagat raya sebagai makro-kosmos seluruhnya. Kemudian ia dapat dipandang sebagai pola-pola, watak-watak dan kecenderungan-kecenderungan dalam posisi dan perannya sebagai subjek. Dengan perkataan lain, alam semesta ini merupakan “makhluk hidup” dengan watak-watak yang melekat pada dirinya. Atau, makhluk hidup yang melakukan perguliran dan peredaran dalam regularitas dan stabilitas tertentu yang alamiah.

Jadi, pada hakikatnya, alam semesta haruslah dipahami sebagai suatu wujud dari keberadaan Allah SWT, keesaan-Nya, kebesaran-Nya, kemahakuasaan-Nya, dan belas-kasih-Nya. Sebab alam semesta –dan seluruh isinya serta hukum-hukumnya- tidak ada tanpa keberadaan Allah Yang Maha Esa. Segala sesuatu, termasuk langit dan bumi, merupakan ciptaan Allah Yang Maha Kuasa (QS Fushilat [41]:11). Allah adalah pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta serta pemeliharanya Yang Maha Pengasih ([1]:1-3) sebagai ciptaannya, alam semesta ini menyerah kepada kehendak Allah ([3]:83), dan memuji Allah ([57]:1, [59]:1, [61]:1 lihat pula ayat [17]:44, [24]:41 dll). Antara Alam semesta (makhluk) dan Allah (khaliq) mempunyai keterikatan erat, dan bahkan meskipun mempunyai hukumnya sendiri, ciptaan amat bergantung pada Pencipta yang tak terhinggga dan mutlak.

Atas dasar itu, alam semesta secara rill adalah jagat raya beserta keseluruhan yang ada di dalamnya yang tampak dalam kasat mata ini, dan juga stabilitas dan regularitas alamiyahnya sejauh dapat diidentifikasi dalam batas-batas pikiran manusia. Sedangkan alam semesta secara hakiki tidak lain adalah wujud “keesaan Allah” yang menunjuk pada ciptaan-ciptaan-Nya, dan hukum-hukum Allah yang terpikirkan oleh manusia (sunnatullah) serta hukum-hukum Allah yang mutlak atau absolut sifatnya (takdir). Dengan kata lain, hakikat alam semesta ini ada yang tampak dalam pandangan mata, dan ada pula yang tidak tampak atau hanya terdapat dalam kerangka pikiran logis semata, atau bahkan tak terpikirkan sama sekali.

C. IDE DASAR KONSEPSI ALAM DALAM AL-QUR’AN

Konsepsi alam dalam al-Qur’an, menurut Rahman, dilandasi oleh beberapa pernyataan. Pernyataan-pernyataan ini dapat dijadikan sebagai ide dasar konsep al-Qur’an mengenai alam semesta. Dari berbagai ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, dapat dirumuskan menjadi beberapa statement untuk melandasi konsep al-Qur’an mengenai alam semesta ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Terciptanya alam semesta atas kehendak Allah [41]:11, membuktikan adanya Allah, menggambarkan kekuasaan dan kebesaran Allah yang tak terhingga [21]:22. Hal ini sebagai landasan agar manusia beriman kepada Allah.
2. Alam semesta adalah pertanda (ayat) yang paling penting mengenai penciptanya. Pertanda-pertanda alam ini ada yang bersifat natural yang terjadi karena proses-proses kausal di alam (QS Ali Imran [3]: 190-191), pertanda-pertanda yang berupa peringatan [29]:35, dan ada pula pertanda-pertanda historis atau supranatural [2]:221 dan [17]:101.
3. Pertanda pertama disebut “ayat” yaitu pertanda yang lemah, abstrak dan samar. Sedangkan pertanda kedua yaitu ayat bayyinat atau bayyinat saja. Bayyinat merupakan “tanda-tanda yang terang, jelas dan tak dapat diragukan lagi”. Al-Qur’an pada dirinya sendiri dan Muhammad sebagai penerimanya merupakan bayyinat pula [98]:1-4. Semua pertanda itu dapat mengantarkan manusia untuk berpikir ([3]:190-191, [10]:1-3, [12]: 102-105, dan [20]:1-6).
4. Perkataan lain yang lebih kuat dari bayyinat, yakni burhan. Burhan bermakna “sebuah bukti yang demonstratif”. Jika bayyinat bersifat tegas dan jelas, maka burhan secara rasional dan psikologis bersifat memaksa. Al-Qur’an sendiri disebut burhan [4]:174, yaitu dalih rasional yang meyakinkan ([2]: 111 [21]:24 [23]: 117 [27]:64 dan [28]:75). Selain perkataan burhan, ada juga yang disebut sulthan, yaitu pertanda dengan kekuatan yang secara psikologis lebih memaksa. ([4]:90 [59]:4 [55]:33 [14]:22 [37]:27-30 [23]:45 [37]:156 [17]:33 [6]:81 [27]:21 [12]:39 dan lain-lain.)

Ide dasar konsepsi alam, menurut al-Qur’an, selain menggambarkan kebesaran dan kekuasaan Allah dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya, juga menggambarkan belas-kasih Allah dan menyerukan agar manusia bersyukur kepada-Nya. Alam semesta ciptaan Allah ini mempunyai kegunaan yang melimpah bagi manusia. Atas dasar itu, manusia patut mengabdi kepada Allah, bersyukur dan tidak menyembah kepada selain Dia.
Demikianlah alam semesta ciptaan Allah ini tidak semata menggambarkan kebesaran dan kekuasaan-Nya, tetapi disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memanfaatkan alam ini demi kebaikan. Manusia dengan moralitasnya diciptakan Allah agar ia berbuat kebaikan. Jika hukum moral harus dipatuhi, maka hukum alam harus digunakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Semua itu menampakkan, bahwa ide dasar konsepsi alam dalam al-Qur’an, selain sebagai seruan agar manusia beriman kepada Allah atas kebesaran serta kekuasaan-Nya, adalah seruan agar manusia bersyukur kepada Allah atas belas-kasih-Nya.

D. PENCIPTAAN ALAM SEMESTA


Mengenai asal mula kejadian alam, terdapat banyak teori yang dikemukakan oleh para astronom, filosof, pemikir dan ahli-ahli sains terdahulu. Alam merupakan objek awal penelitian para pemikir sejak zaman dahulu sampai sekarang. Salah satunya adalah Plato, dengan karyanya yang berjudul Timaeus, ia mengajarkan perihal bagaimana terciptanya dunia beserta susunannya. Ia menokohkan Demiurgos sebagai pencipta dunia ini. Selain itu, seorang ahli astronomi, Jean, mengatakan bahwa alam ini pada mulanya adalah gas yang berserakan secara teratur di angkasa luar, sedangkan kabut-kabut atau kumpulan kosmos-kosmos itu tercipta dari gas-gas tersebut yang memadat (41:11).

Masih banyak teori lain dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, tetapi yang akan dibahas pada makalah ini adalah teori penciptaan menurut al-Qur’an.
Terdapat beberapa postulat universal al-Qur’an yang berbicara tentang bagaimana penciptaan alam semesta. Pertama, alam semesta bukan tercipta dengan sendirinya (al-Jatsiyah [45]:24), melainkan merupakan ciptaan Allah melalui proses selama “enam hari” ([7]:54, [10]:3, dan [25]:59) dengan firmannya “kun fa yakun” ([2]:117 [3]:47, 59 [6]:73 [16]:40 [19]:35 [36]:82 dan ayat [40]:68). Kalimat "kun fa yakun" sebagai firman Allah menunjuk pada suatu proses yang tanpa mengenal ruang dan waktu.


وَهُوَ الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَلَئِن قُلْتَ إِنَّكُم مَّبْعُوثُونَ مِن بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنْ هَـذَا إِلاَّ سِحْرٌ مُّبِينٌ



Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arasy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah), "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata, "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata." (Hud [11]: 7)

Dalam menjelaskan “enam hari” dalam ayat di atas, Imam al-Thabary mengutip sebuah hadits dari Abu Hurairah yang secara eksplisit dapat dipahami bahwa “enam hari” ini diuraikan dengan penjelasan sebagaimana enam hari yang kita pahami hari ini yaitu nama-nama hari Ahad sampai Jum'at. Lain halnya dengan Rahman, proses “enam hari” ini menunjuk pada eksistensi Allah dalam penunjukan terhadap suatu proses berangsur-angsur di luar dimensi ruang dan waktu.

Kata Arsy’, menurut Baiquni, harus dipahami sebagai “kekuasaan atau pemerintahan”, bukan dengan kata “singgasana” sebagaimana dipahami oleh kebanyakan mufassir, sebab singgasana merupakan lambang dari kekuasaan. Kata "ma_an" dalam ayat yang sama diartikan “suatu bentuk Fluida (zat alir yang panas), bukan air dalam arti biasa sehingga bila dikatakan bahwa tahta-Nya berada di atas ma_an, maka pernyataan tersebut mengandung makna bahwa pemerintahan-Nya ditegakkan pada seluruh isi alam yang pada waktu itu masih berbentuk fluida atau zat alir panas.

Dengan begitu, anggapan bahwa alam semesta tercipta dengan sendirinya dan tersedia sejak azali, sebagaimana dikemukakan oleh berbagai kalangan di dunia Barat, ditolak oleh al-Qur’an.

Tentang bagaimana alam semesta ini tercipta, QS. Al-Anbiya ayat 30 merupakan salah satu jawaban terhadap pertanyaan tadi. Allah SWT berfirman:



أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقاً فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ



"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada beriman?".

Pernyataan Allah dalam al-Qur’an tersebut diamini oleh para fisikawan dan astronom. Mengenai alam yang berasal dari suatu yang padu, kemudian dipisahkan dan kelak saat kiamat akan disatukan lagi, semua ada dalam teori penciptaan dan akhir alam semesta. Big Bang (dentuman besar) adalah teori yang diajukan sebagai awal terjadinya alam semesta, semesta Big Crunch (kerkahan besar atau tumbukan besar) adalah akhirnya.

Menurut Ahmad Baiquni, seorang fisikawan sekaligus pemikir dari kalangan Islam Indonesia, ayat tentang penciptaan bumi dan langit di atas dapat dipahami dengan menggunakan teori ilmu pengetahuan alam. Ia menyatakan,

"Munculnya konsep “kosmos yang berekspansi” telah menjuruskan para fisikawan pada suatu kesimpulan bahwa sekitar 12.000 juta tahun yang lalu, alam semesta ini, energi/materi beserta ruang waktu, keluar dengan kekuatan yang sangat dahsyat dari suatu titik singularitas dengan temperatur dan kerapatan yang sangat tinggi yang tak ada bandingannya. Sebelum itu tak ada energi, tidak ada materi, tidak ada ruang dan waktu. Jika langit (ruang waktu) dan bumi (ruang materi), semua berada dalam satu titik, maka tak ada suatu apapun yang lebih padu daripadanya; sebab dalam suatu titik pisis pun tak ada kata di sini atau kata di sana. Penciptaan ini yang diikuti oleh gejala inflasi yang mendorong alam membesar secara eksponensial menunjukkan kelajuan pengembangan yang eksponensial serta pelajuan yang eksponensial pula, melebihi apa yang dapat ditimbulkan oleh pengaruh gaya yang biasa".

Dalam ayat lain, Fushilat [41]:11, diungkapkan:


ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعاً أَوْ كَرْهاً قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ



"Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa'. Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati".

Baiquni menerjemahkan kata "dukhan" dengan “semacam embun” bukan asap sebagaimana banyak dikenal selama ini. Langit atau dapat dikatakan lapisan angkasa bumi berada 100 km atau 62 mil di atas bumi. Ukuran ini ditetapkan oleh Federation Aeronatique Internationale sebagai batasan antara atmosfer dan angkasa.

Di ayat lain Allah berfirman bahwa Ia menciptakan “tujuh langit yang berlapis-lapis” sebagaimana terdapat dalam QS. [67]: 3.


Dalam terminologi tasawuf angka tujuh digunakan sebagai simbol untuk menunjuk kesempurnaan (kebesaran) ciptaan Allah yang mengenal batas. Pemisahan satu yang padu ini, menurut Al-Thabary, karena sebelum dipisahkan tidak ada sesuatu yang muncul dari keduanya. Maka Allah memisahkan langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sesuai dengan Al-Thariq 11-12, yang berbunyi:


وَالسَّمَاء ذَاتِ الرَّجْعِ
وَالْأَرْضِ ذَاتِ الصَّدْعِ


Kedua, alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT sesuai dengan kadar ukurannya sebagaimana diungkapkan dalam QS Al-Qamar [54]:49 (bandingkan dengan [15]:21 atau [20]:50 dan [87]:2-3).
Maksudnya, bila Allah menciptakan sesuatu, maka kepadanya Allah memberikan kekuatan atau hukum tingkah laku (petunjuk, perintah, atau ukuran), dan dengan hukum tingkah laku inilah ciptaan-Nya ini dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di alam semesta. Jika sesuatu ciptaan melanggar hukumnya dan melampaui ukurannya, maka alam semesta menjadi kacau.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, Fazlur Rahman menegaskan bahwa perkataan “ukuran” itu mempunyai bias holistik yang kuat, yaitu pola-pola, watak-watak dan kecenderungan-kecenderungan. Di sini Rahman bermaksud menjelaskan bahwa “ukuran” itu tidak boleh dipahami sebagai mendukung teori predeterminasi (takdir), meskipun dapat diartikan semacam “determinisme holistik”. Perkataan “ukuran” itu harus dipahami bahwa kesempurnaan alam semesta ini “terhingga” atau “terbatas”. Sebab, yang tak terhingga dan yang tak terbatas hanyalah Allah semata.

Ketiga, watak alam semesta. Al-Qur’an menyebutkan bahwa setelah perbentangan alam semesta, kemudian Allah duduk di atas Arsy ([7]:54 dan [10]:3) yaitu untuk mengatur alam semesta dan menurunkan perintah-perintah-Nya melalui malaikat-malaikat dan ruh qudus ([22]:5, [70]:4, [34]:2, [57]:4. (Bandingkan dengan [97]:4)
Hal ini mengandung pengertian bahwa, meskipun jagad raya ini mempunyai sebab-sebab alamiahnya sendiri, dia tidak berdiri dengan otonomi mutlak, melainkan berhubungan dengan sebab-sebab Ilahiah. Dikatakan pula dalam al-Qur’an bahwa, keseluruhan alam semesta adalah “muslim” karena segala sesuatu yang ada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi muslim atau tidak menjadi muslim) menyerah pada kehendak Allah ([3]:83) dan setiap sesuatu memuji Allah ([57]:1, [61]:1, [17]:44, [24]:41, dan lainnya).

Pertanyaan selanjutnya adalah kapan Tuhan menciptakan alam semesta. Seorang Sufi Spanyol, Ibnu Arabi, mengatakan bahwa pertanyaan “kapan” dinilai tidak tepat. Karena perkataan “kapan” merupakan suatu ungkapan yang berdimensi waktu, sementara waktu hanya terkonsepsi dalam dunia relasi (yaitu setelah adanya relasi itu sendiri) dan Tuhan bebas dari dimensi ruang dan waktu. Dalam konsepsi Ibnu Arabi, waktu merupakan hubungan antara satu gerak dengan gerak lainnya yang tidak ditemukan dalam dunia ontologis, meskipun jejak-jejaknya dapat dipahami dalam dunia rasional.

Keempat, tentang fenomena alam. Al-Qur’an menuturkan, matahari bergerak (di atas jalurnya). Allah SWT menetapkan tempat-tempat tertentu kepada bulan, matahari tidak mengejar bulan, dan siang tidak mendahului malam; masing-masing beredar pada tempatnya ([36]:38-40). Bumi pijakan manusia tidak terbang dan langit yang menopang jagat raya tidak ambruk ([34]:9, [50]:6, [51], 47 dan [13]:2). Tidak ada kejanggalan dalam fenomena alam (QS 67: 3-4). Gunung-gunung yang disangka tetap kokoh pada tempatnya, sebenarnya ia bergerak bagaikan awan. Itulah ciptaan Allah yang telah menyempurnakan setiap sesuatu ([27]:88).
Alam dan fenomena alam merupakan pertanda atau mukjizat yang menakjubkan. Akan tetapi, manusia gampang “melupakan” Allah bila alam menguntungkannya; hanya ketika alam menyebabkan kemalangan kepada dirinya barulah dia menemukan Allah [24]:39. Setelah Allah menyelamatkannya, ia kembali mengingkarinya dan melakukan perbuatan-perbuatan negatif (QS 10:23). (Bandingkan dengan [29]:65)

Kepada Nabi Muhammad Saw, Allah memberikan mukjizat berupa wahyu al-Qur’an. Siapapun tidak ada yang mampu membuat persamaan al-Qur’an ([2]:23, [10]:38, [11]:13, [17]:88, dan [52]:33).
Seperti halnya alam semesta yang merupakan “kata-kata” Allah yang tidak akan habis-habisnya, demikian pula halnya dengan al-Qur’an. Seperti alam semesta, al-Qur’an turun melalui Nabi Muhammad dengan “seizin” Allah, dan jika Allah menghendaki maka Dia dapat menghentikan wahyu-wahyu.

Dalam hubungannya antara wahyu al-Qur’an sebagai “petunjuk” dan fenomena alam sebagai “tanda-tanda” kebesaran Allah, maka keduanya adalah sama-sama sebagai mukjizat. Jagat raya ini terkadang disebut pula sebagai al-Qur’an besar. Al-Qur’an menegaskan, sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (QS Ali Imran [3]:190-191).

Kelima, kegunaan alam semesta. Pernyataan al-Qur’an tentang regularitas (keteraturan) alam semesta sering kali digunakan untuk membuktikan kegunaan alam semesta ini bagi manusia. Alam semesta ini disediakan untuk dimanfaatkan oleh manusia demi mencapai tujuan-tujuannya. Tujuan utama manusia adalah mengabdi kepada Allah, bersyukur kepada-Nya, dan menyembah hanya kepada-Nya. Ternyata alam semesta mengabdi kepada manusia dan dia dapat digali oleh manusia ([2]:29, [31]:20, [45]:12). (Bandingkan dengan [14]:32; [16]:12-14; [22]:65; [29]:61; [31]:29; [35]:13; [39]:5; [43]:12 dll)

Meskipun menggambarkan kekuasaan Allah, namun tujuan utama dari ayat-ayat di atas adalah untuk memperlihatkan bahwa Allah menggunakan kekuasaan-Nya itu untuk kebaikan manusia. Manusia dipersilahkan untuk memanfaatkan kesempatan itu untuk kebaikan. Dditegaskan pula, penciptaan alam semesta ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan dengan sia-sia atau untuk main-main, tidak seperti pandangan orang-orang yang mengingkari atau yang tidak bersyukur. ([38]:27 dan [3]:191).

Jelaslah bahwa penciptaan alam semesta, di samping untuk menunjukkan kebesaran Allah, disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital manusia.

Terakhir, postulat keenam, tentang kehancuran alam semesta, yaitu yang dibuat oleh manusia dan yang disengaja oleh Allah.
1. Manusia dapat melakukan kerusakan alam semesta akibat tangan-tangan mereka sendiri. Jika manusia membuat kerusakan di muka bumi, alam semesta ini juga akan mengalami kerusakan dalam arti sesungguhnya. Hal-hal semisal pencemaran ekologis dan penipisan ozon adalah contoh perusakan alam semesta oleh tangan-tangan manusia.

2. Alam semesta memiliki batas akhir. Dengan jelas al-Qur’an menggambarkan kehancuran di hari kiamat nanti ketika Allah menghapuskan hukum alam yang pernah diadakan-Nya. Di hari kiamat nanti, seluruh bumi berada dalam genggaman-Nya, dan jagad raya yang maha luas ini teremas di tangan kanan-Nya [39]:67. “Apakah Allah sedemikian letih setelah menciptakan alam semesta ini sehingga Dia tidak dapat menciptakan yang lain?" (QS 50:15.
Menurut Rahman, kehancuran alam semesta oleh Allah ini tidak terjadi secara sia-sia, tetapi untuk mewujudkan susunan unsur-unsur serta faktor-faktor fisis dan moral, atau sebuah ciptaan dengan level yang baru.

E. KESIMPULAN

Penciptaan alam merupakan bukti kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Penjelasan di atas adalah sebagian kecil dari fakta dan data yang kita ketahui tentang jagat raya tak terbatas yang Allah ciptakan jauh sebelum kita hidup. Kenyataan tersebut membuktikan kemahaluasan dan kemahahalusan ilmu Allah dibandingkan pengetahuan yang kita miliki. Tidak ada kesulitan bagi Allah untuk mencipta dan menghancurkan alam semesta ini. Ungkapan kesyukuran atas segala nikmat alam semesta ini dibuktikan dengan sikap bersahabat dengan alam yang lebih baik.

Ayat-ayat kosmologis dalam al-Qur’an merupakan pertanda lain dari fakta alam semesta. Keduanya saling menjelaskan satu sama lain. Makro-kosmos dan mikro-kosmos merupakan bukti nyata akan belas kasih-Nya terhadap manusia di muka bumi.

Sebagai bahan renungan, banyak bencana yang terjadi karena ada sebagian makhluk-Nya yang melampaui ukuran dan melanggar aturannya. Menyalahi aturan, ratqh, dan segala ketetapan ROBB.

Wallohu A’lamu bi murodihi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Memasukkan Artikel

1. Masuk ke blogger.com; atau supaya lebih mudah klik saja gambar di bawah ini:

Photobucket

2. Isi kotak Nama pengguna (Email): dengan

pemudabandung@ymail.com

3. Isi kotak Kata Sandi: (?) tanpa spasi dengan

**********

4. Klik kotak MASUK

5. Klik kotak ENTRI BARU

6. Tulis judul dan masukkan artikel ke dalam kotak di bawahnya

7. Setelah selesai klik kotak TERBITKAN ENTRI